Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Zulfikar Arse Sadikin, menanggapi kritis Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terbaru yang memisahkan pelaksanaan Pemilu Pusat pada 2029 dan Pemilu Daerah pada 2031. Menurutnya, MK tidak seharusnya terus-menerus menciptakan norma baru, karena wewenang MK dalam konstitusi hanya terbatas pada pengujian norma undang-undang terhadap UUD 1945, sebagaimana tercantum dalam Pasal 24C.
“Persoalan pemilu itu sebenarnya merupakan wilayah open legal policy, artinya merupakan kewenangan penuh dari pembentuk undang-undang, yaitu DPR dan pemerintah. Jadi bukan kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk membuat norma baru,” tegas Zulfikar di Jakarta, Senin (30/6/2025).
Ia menilai bahwa MK dalam beberapa putusannya kerap kali melampaui batas konstitusional dengan membuat norma baru alih-alih menguji norma yang sudah ada. Padahal, menurutnya, pembentuk undang-undang cukup memahami dinamika dan polemik yang ada di masyarakat, termasuk isu keserentakan pemilu.
“Kalau MK terus-menerus menafsirkan dan membuat norma, maka bisa jadi UUD kita harus diubah untuk menampung praktik itu. Tapi faktanya, Pasal 24C UUD 1945 tidak memberikan kewenangan kepada MK untuk membentuk norma baru. MK cukup menguji apakah suatu pasal inkonstitusional atau tidak,” jelas Politisi Fraksi Partai Golkar ini.
Zulfikar menekankan bahwa tafsir terhadap norma yang diujikan di MK seharusnya tetap menjadi kewenangan pembentuk undang-undang. Ia mengingatkan bahwa ketentuan mengenai pelaksanaan pemilu dan desain kelembagaan demokrasi nasional semestinya ditentukan secara politik melalui proses legislasi di DPR RI.
“Kalau semua pihak bisa menafsirkan secara sepihak, nanti bisa repot. DPR adalah pihak yang memiliki legitimasi untuk menafsirkan norma dalam konteks open legal policy. Karena itu, meski putusan MK bersifat final dan mengikat, tetap kami akan evaluasi dan selaraskan dalam pembahasan perubahan UU Pemilu ke depan,” ujar legislator asal Daerah Pemilihan Jawa Timur III itu.
Zulfikar menegaskan bahwa DPR RI akan tetap menghormati keputusan MK, namun menekankan pentingnya pembagian peran yang proporsional antar lembaga negara sesuai mandat konstitusi. “Putusan MK tentu akan kami akomodasi dalam pembahasan undang-undang, tapi pembuatan norma dan desain kebijakan tetap harus kembali ke ranah politik pembentuk undang-undang,” pungkasnya.